Narsis Akar Kekerasan

VIVAnews - Dasar narsis…! Siapa tidak kenal istilah narsis ini sekarang? Mungkin mayoritas orang kenal, atau setidaknya pernah dengar.

Istilah ini biasa ditujukan buat mereka yang tampak memuja dirinya sendiri. Biasanya melalui foto-foto atau gambar dirinya yang dieskpos di wilayah publik. Tentu, hanya gambar yang menonjolkan citra positif dirinya.
 
Menjadi narsis kemudian hanya dimaknai sebagai bagian dari gaya hidup; sesuatu yang ringan dan menyenangkan. Namun tahukah Anda, bahwa narsis merupakan salah satu akar kekerasan?
 
Erich Fromm, pakar psikoanálisis dan filsuf sosial pernah menyinggung narsisisme ini dalam bukunya; Akar Kekerasan (The Anatomy of Human Destructiveness).
 
Yang menarik, Erich mengaitkannya dengan agresi. Agresi selama ini dikenal sebagai dorongan untuk merusak atau bersifat destruktif. Menurutnya, salah satu sumber agresi defensif (agresi untuk bertahan) terpenting adalah terlukainya perasaan narsisistik.
 
Narsisisme itu sendiri apa? Secara umum, narsisisme bisa dipahami sebagai kecintaan terhadap diri. Menurut legenda, istilah narsis ini berasal dari nama putra dewa Cephisus dan peri Liriope bernama Narcisus. Konon, Narcisus jatuh cinta pada bayangannya sendiri dan berhasrat untuk merengkuhnya.
 
Tentu saja mustahil, dan Narcisus merana hingga akhirnya berubah menjadi bunga yang dinamai Narcisus. Di tangan Erich Fromm, istilah narsis atau narsisisme kemudian digambarkan sebagai kondisi pengalaman seseorang saat mana dia merasakan bahwa sesuatu yang benar-benar nyata hanyalah tubuhnya, kebutuhannya, perasaannya, pikirannya, kekayaannya, atau benda-benda serta orang-orang yang masih ada hubungan dengannya.
 
Sedangkan orang-orang yang tidak menjadi bagian darinya atau tidak dia butuhkan, tidak sepenuhnya nyata, dan hanya dipahami sebatas nalar. Hanya dirinya dan benda-benda yang ada hubungan dengannyalah yang memiliki arti; lain dari itu tidak memiliki nilai atau tidak menarik.
 
Orang-orang narsistik biasanya memperoleh rasa aman melalui keyakinan subyektifnya bahwa ia sempurna atau unggul atas orang lain, bukan melalui penilaian orang lain atas karya nyata ataupun prestasinya.
 
Jika seseorang narsistik mendapat kritikan, ralat ataupun kekalahan, ia akan merasa terancam. Biasanya ia lantas akan bereaksi dengan kemarahan yang amat sangat, dengan atau tanpa memperlihatkannya, dan disadari atau tidak.
 
Kita seringkali menemukan tokoh politik ataupun pemerintah yang menunjukkan sifat narsistik ini. Alih-alih mendengarkan kritik dari rakyatnya, yang terjadi malah ia balik menunjukkan sikap tersinggung atau marah.
 
Salah satu yang masih hangat di ingatan kita, betapa marahnya para anggota dewan terhadap lagu “Gossip Jalanan” yang diciptakan Slank. Contoh lain yaitu Walikota Solo yang marah-marah ketika mendapat kritikan dari ketua dewan berkaitan penyusunan anggaran yang dianggap kurang tajam menempatkan prioritas.
 
Apakah narsisisme hanya berlaku individu? Ternyata Erich Fromm juga mengungkap mengenai narsisisme kelompok. Narsisisme jenis ini meletakkan kelompok sebagai obyek narsisisme.
 
Individu narsistik dapat sepenuhnya menyadari narsisismenya, dan mengungkapkannya tanpa hambatan apa pun dengan kelompoknya. Kelompok akan menerima sepenuhnya ungkapan narsistik individu tersebut, bahkan dianggap sebagai bagian dari kesetiaan terhadap kelompok.
 
Kelompok narsistik ini biasanya membangun kenyataan berdasarkan konsensus yang dibangun, bukan pemikiran atau pengkajian kritis.
 
Narsisisme kelompok berguna dalam meningkatkan solidaritas kelompok, dan memberikan kepuasan bagi para anggota kelompok terutama dalam hal kepercayaan diri.
 
Sekalipun anggotanya adalah orang paling miskin dari anggota lain, dia dapat mengkompensasikan keadaannya dengan merasa bahwa: “Saya adalah bagian dari kelompok terhebat di dunia.”
 
Hal ini menjadikan kadar narsisme kelompok menjadi merata di antara anggotanya. Dari sinilah muncul fanatisme, yang menjadi ciri khas narsisisme kelompok.
 
Sama halnya dengan narsisisme individu, narsisisme kelompok ini mudah bereaksi keras terhadap segala bentuk pelecehan kelompoknya. Bahkan dalam konteks pertentangan antar kelompok karena masing-masing merasa dilecehkan, citra narsistik suatu kelompok akan naik seiring merosotnya citra kelompok lain.
 
Kelompok yang unggul akan menjadi “pembela martabat bangsa, penjaga kesatuan dan persatuan bangsa, serta pembela moralitas dan hak asasi manusia” misalnya. Sementara kelompok yang kalah akan menerima citra buruk seperti buas, brutal, tidak bermoral, pemberontak dan sebagainya.
 
Dalam konteks Indonesia, kita bisa dengan mudah menemukan narsisisme kelompok ini diterapkan lewat kelompok-kelompok radikal. Lewat ciri khas fanatisme yang menonjol, serta menganggap kelompoknya sebagai paling benar berdasarkan konsensus internal.
 
Front Pembela Islam, Laskar Jihad, dan kelompok-kelompok yang bertikai dalam konflik di berbagai wilayah di Indonesia merupakan contoh dari narsisisme kelompok ini. Dan tidak heran memang, jika anggota kelompok yang bertikai tersebut ternyata rata-rata miskin, tidak berpendidikan, atau bahkan pengangguran.
 
Negara pun bisa termasuk dalam pelaku narsisisme kelompok ini, ketika kita melihat bahwa aparatnya memerangi mereka yang dianggap melecehkan simbol-simbol kenegaraan (yang juga menjadi simbol narsisisme kelompok).
 
Contoh hasil dari narsisisme kelompok lainnya adalah lahirnya UU Pornografi, yang perumusannya dibuat lebih banyak berdasarkan konsensus kelompok tertentu, bukannya pemikiran kritis yang berkembang. Untuk diingat, narsisisme kelompok bekerja ketika kenyataan yang dibangun hanya berdasarkan konsensus kelompok semata, bukan berdasarkan pemikiran kritis dan obyektif.
 
Termasuk misalnya, kenyataan mana yang “porno” dan mana yang tidak. Dalam konteks ini, agresi bahkan kekerasan bisa muncul sewaktu-waktu, ketika kelompok tertentu merasa stándar nilainya soal “pornografi” (baca: simbol narsistik) dilecehkan oleh kelompok lain.
 
Kecenderungan narsisisme pada dasarnya selalu ada pada setiap individu maupun kelompok. Agar tidak berkembang menjadi kekerasan, dibutuhkan keberanian untuk membuktikan kepada masyarakat luas bahwa impian narsisismenya bukan omong kosong belaka.
 
Dengan demikian, lebih kecil kemungkinan timbul penolakan dari masyarakat luas yang akan memicu perlawanan bahkan kekerasan. Jika memang impian seorang politikus adalah “menjadi publik figur yang terhormat”, ya janganlah korupsi, jangan pula money politic, atau menyalahgunakan kekuasaan.
 
Atau, jika suatu kelompok mempunyai impian “sebagai kelompok paling bermoral”, ya masyarakat harus dibuat yakin bahwa kelompok ini memang kelompok bermoral dan bukan perusak atau barbar. Tentu saja untuk mengetahui penyebab agresi kelompok ini harus memahami peranan narsisisme dalam kelompok tersebut.
 
Nah, sejauh manakah tingkat narsisisme Anda saat ini berpotensi memicu kekerasan?

TNI AL dan Brimob Bentrok di Pelabuhan Sorong, Begini Endingnya

Logo Media Bersama

Babe Cabita dan istri.

Bikin Mewek! Ini Isi Percakapan Istri dan Babe Cabita Dua Hari Sebelum Meninggal

Istri Almarhum Babe Cabita, Zulfati Indraloka mengunggah rekaman suara berisi percakapan antara dirinya dengan Babe Cabita, 2 hari sebelum suaminya itu meninggal dunia.

img_title
VIVA.co.id
15 April 2024